Di era saat ini, pesan untuk selalu berpikir positif sangatlah umum. Media sosial dan budaya modern sering kali mempromosikan pandangan bahwa untuk menjadi kuat, kita harus selalu bersikap positif, tidak peduli seberapa sulit situasinya. Namun, ada sisi gelap dari ajakan berpikir positif yang ekstrem, yang dikenal sebagai toxic positivity.
Apa Itu “Toxic Positivity”?
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif dan mengabaikan emosi negatif, tidak peduli apa yang terjadi. Dalam praktiknya, ini berarti menolak perasaan yang dianggap “buruk” atau “lemah” seperti kesedihan, marah, atau kecewa, dan menggantinya dengan perasaan positif secara berlebihan, bahkan jika itu tidak realistis atau tidak sesuai.
Misalnya, ketika seseorang mengalami kesulitan besar dalam hidup, toxic positivity dapat muncul dalam bentuk kalimat seperti, “Jangan sedih, tetap positif saja,” atau “Semua akan baik-baik saja, jangan terlalu dipikirkan.” Padahal, menekan emosi negatif seperti itu dapat membawa dampak buruk pada kesehatan mental seseorang.
Mengapa “Toxic Positivity” Bisa Merusak Kesehatan Mental?
Ada beberapa alasan mengapa toxic positivity bisa berdampak negatif pada kesehatan mental:
- Menekan Emosi Asli
Dengan selalu mencoba berpikir positif, seseorang bisa jadi menekan emosi asli yang sebenarnya perlu diakui dan dihadapi. Menekan emosi negatif dapat menyebabkan stres yang tidak tersalurkan, yang akhirnya mempengaruhi kesehatan mental. Emosi negatif yang ditekan berisiko berubah menjadi kecemasan, depresi, atau ledakan emosi di masa depan. - Mengabaikan Kebutuhan Emosional
Setiap orang membutuhkan ruang untuk merasakan berbagai emosi, baik yang positif maupun negatif. Dengan terus-menerus mengabaikan emosi negatif, seseorang bisa kehilangan keterampilan untuk menghadapi kesulitan dengan sehat dan akhirnya tidak tahu cara mengatasi rasa sakit emosional ketika muncul. - Menurunkan Rasa Empati
Toxic positivity sering kali berwujud dalam cara orang merespons masalah orang lain. Alih-alih mendengarkan dan merasakan empati, seseorang bisa mengeluarkan komentar seperti, “Tetaplah bersyukur” atau “Jangan berpikir negatif.” Respon semacam ini membuat orang yang sedang berjuang merasa terabaikan, kurang dimengerti, atau dianggap lemah karena menunjukkan emosinya. - Menghancurkan Kejujuran Diri
Ketika seseorang terjebak dalam toxic positivity, mereka mungkin merasa harus berpura-pura bahagia bahkan ketika sedang dalam situasi sulit. Ini bisa mengakibatkan penurunan hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, karena orang tersebut merasa tidak bisa jujur tentang perasaannya yang sebenarnya.
Cara Menghindari “Toxic Positivity” dan Menerima Emosi dengan Sehat
Berikut beberapa cara untuk menghindari toxic positivity dan mendukung kesehatan mental yang lebih seimbang:
- Terima Semua Emosi
Alih-alih mengabaikan perasaan negatif, coba untuk menerimanya sebagai bagian alami dari pengalaman hidup. Mengakui kesedihan, kecemasan, atau marah bukanlah tanda kelemahan, melainkan cara untuk tetap sehat secara emosional. - Berlatih Empati pada Diri Sendiri dan Orang Lain
Jika seseorang mengalami kesulitan, cobalah mendengarkan tanpa memberikan komentar yang tidak realistis. Empati berarti berada di samping seseorang dalam kesulitannya, bukan mencoba “memperbaiki” suasana hati mereka dengan cara yang tidak sesuai. - Validasi Perasaan yang Muncul
Daripada menolak perasaan negatif, katakan pada diri sendiri bahwa wajar jika merasa sedih atau kecewa dalam situasi tertentu. Validasi diri adalah langkah penting dalam menerima dan mengatasi perasaan dengan cara yang sehat. - Cari Dukungan Kesehatan Mental Jika Diperlukan
Berbicara dengan konselor atau terapis bisa sangat membantu untuk memahami dan mengelola emosi negatif dengan cara yang produktif. Terapis dapat memberikan alat yang efektif untuk menangani emosi dan menghindari pola toxic positivity.
Kesimpulan
Toxic positivity sering kali muncul dari niat baik untuk tetap positif, namun dampaknya justru dapat merusak kesehatan mental kita. Merasa sedih, kecewa, atau marah adalah bagian alami dari menjadi manusia. Sebaiknya kita berusaha untuk menerima seluruh spektrum emosi kita tanpa harus merasa malu atau tertekan untuk berpura-pura bahagia sepanjang waktu. Menerima semua perasaan yang muncul, baik positif maupun negatif, adalah kunci untuk mencapai keseimbangan emosional dan kesehatan mental yang lebih baik.